skip to main |
skip to sidebar
Harapan Siapa Protap
Pada zaman Belanda, wilayah Tapanuli dibagi dalam dua keresidenan.
Berawal dari sinilah, proses pembentukan Provinsi Tapanuli menjadi
tertatih-tatih.
Pro dan kontra adalah suatu hal yang lumrah dalam
alam berdemokrasi. Perdebatan yang alot dan panjang pun tak jarang bisa
dihindari untuk mencapai kata mufakat. Namun apa yang terjadi di
Sumatera Utara awal Februari lalu sangatlah tragis. Amukan massa ribuan
pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli (Protab) yang terjadi di kantor
DPRD Sumatera Utara pada tanggal 3 Februari 2009 lalu menewaskan Ketua
DPRD Sumatra Utara Abdul Azis Angkat.
Saat itu, diduga tak
kuat menahan rangsekan massa, Aziz jatuh pingsan lalu dibawa ke rumah
sakit. Namun setelah mendapat perawatan medis, Aziz kemudian meninggal
dunia. Oleh dokter, Aziz disebut meninggal karena penyakit jantung.
Kepala Polda Sumut, Irjen Nanan Soekarna dan Kapoltabes Medan, Kombes
Aton Suhartono kemudian dicopot dari jabatan mereka. Kapolri Jenderal
Bambang Hendarso Danuri mengatakan mereka dinilai lalai dalam
menjalankan tugas sehingga terjadi aksi demonstrasi anarkis.
Sebanyak 66 orang sudah dijadikan tersangka di antaranya GM Panggabean,
pemilik harian Sinar Indonesia Baru ; mantan anggota DPRD Sumut yakni
Chandra Panggabean, Burhanuddin Rajagukguk dan Tahan Manahan Panggabean ;
Pembantu Dekan III Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Ir.
Hasudungan Butar-Butar yang merupakan Sekretaris Panitia Protap ; Ketua
Panitia Protap Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara, Jual Siahaan
yang juga Kepala PDAM Mual Natio Tarutung ; Dosen Fakultas Ekonomi
Unimed, Poltak Panjaitan dan Dosen Fakultas Teknik Universitas
Sisingamangaraja (US) XII, Lunggu Pasaribu.
Sesungguhnya,
gagasan pemekaran Provinsi Sumut telah diajukan oleh anggota DPRD Sumut,
ANP Situmorang, hampir 52 tahun lalu sekitar 1957. Ia mengusulkan Sumut
dibagi tiga: satu provinsi untuk Tapanuli Selatan, Labuhan Batu, dan
Asahan, dengan ibukota Labuhan Batu; satu provinsi untuk Nias, Tapanuli
Utara, dan Simalungun, dengan ibukota Sibolga atau Pematang Siantar; dan
satu provinsi untuk Deli Serdang, Karo, Langkat dan Medan, dengan ibu
kota Medan.
Setelah sempat dihentikan semasa Gubernur Tengku
Rizal Nurdin (2005), cita-cita pendirian Provinsi Tapanuli kembali
dicetuskan oleh tokoh-tokoh dari sepuluh kabupaten di wilayah eks
Karesidenan Tapanuli pada 2006, yang didukung sebagian tokoh nasional
asal Tapanuli di Jakarta, baik tokoh politik maupun pengusaha. Sepuluh
kabupaten/kota itu di antaranya Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli
Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Nias, Nias Selatan,
Dairi, Pakpak Barat dan Kota Sibolga.
Panitia Pembentukan
Protap kemudian disetujui dalam Kongres Masyarakat Tapanuli, 6 April
2002 silam, di Kota Tarutung. Selain dukungan menguat, sambutannya pun
amat meriah. Sedikitnya hadir 40 ribu masyarakat yang berduyun-duyun
datang dari 10 daerah kabupaten/kota yang direncanakan bergabung.
Dalam Laporan Tugas Tim Peneliti Kelayakan Pembentukan Provinsi
Tapanuli, Oktober 2005 menyebutkan, munculnya keinginan pembentukan
Provinsi Tapanuli didasarkan oleh beberapa hal yakni latar belakang
sejarah bahwa wilayah Tapanuli yang merupakan eks Keresidenan Tapanuli
yang pernah dibentuk Belanda.
Adanya keinginan percepatan
pembangunan di wilayah Tapanuli dan Pantai Barat Sumatera Utara.
Keinginan untuk mengelola daerah sendiri agar pemerintahan provinsi
dipimpin oleh putra Tapanuli sendiri. Serta kemudahan birokrasi
pemerintahan di wilayah Tapanuli.
Pembentukan Protap ini juga
bertujuan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat.
Masyarakat di pantai barat Sumatera Utara sangat jauh dari pelayanan
publik yang terpusat di Medan, ibu kota Sumut. Orang sakit yang ingin
mendapatkan pelayanan yang lebih baik, harus naik kendaraan sekitar 10
jam perjalanan baru sampai ke Medan. Akibatnya nyawa tidak bisa
tertolong sebelum tiba di rumah sakit kota. Di samping itu, Protap juga
bertujuan untuk memeratakan hasil pembangunan, akibat masih banyaknya
daerah terpencil di pantai barat, atau di perbatasan dengan Aceh yang
jauh tertinggal pembangunannya dibanding dengan daerah yang dekat kota.
Dengan alasan-alasan inilah, ketika timbul gagasan untuk pembentukan
Protap, hampir semua pihak mendukung. Bahkan Gubernur Sumatera Utara
Syamsul Arifin berani menandatangani persetujuan pemekaran Provinsi
Tapanuli. “Dari 25 syarat yang diminta, sejumlah 23 syarat sudah
dipenuhi. Jadi saya tandatangani,” kata Syamsul kepada wartawan seusai
pertemuan tertutup dengan tim pencari fakta Komisi III Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) untuk kasus pemekaran Protap, (23/2) di Jakarta. Cuma
tinggal satu yang mengganjal, tanda tangan dari Ketua DPRD Sumut Abdul
Aziz Angkat yang tak kunjung keluar. Itulah sebabnya, ribuan massa
pendukung pembentukan Protap mengamuk karena tidak sabar lagi nasibnya
digantung-gantung terus.
Di sisi lain, dalam perjalanannya,
rencana pembentukan Protap ini menemui banyak kerikil besar. Pasalnya,
warisan Belanda yang telah membuat wilayah Tapanuli dibagi dalam dua
keresidenan yang dibentuk pada tahun 1915 tersebut, telah membuat
karakter di dua wilayah keresidenan Tapanuli terpecah yaitu eks
keresidenan Sumatra Timur dan Tapanuli.
Sehingga eks kedua
keresidenan itu sulit untuk sepaham akan wacana pembentukan Protap.
Kedua eks keresidenan Belanda tersebut lebih cenderung untuk memilih
berdiri sendiri. Apalagi masyarakat Mandailing sudah mengusulkan
pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara yang mencakup wilayah dari
pemekaran Tapanuli Selatan yakni Kabupaten Mandailing Natal (Madina),
Tapanuli Selatan (Tapsel), Padang Sidempuan, Padang Lawas Utara
(Paluta), dan Padang Lawas (Palas), yang telah sampai ke meja DPRD Sumut
pada tanggal 20 Januari 2009. Dan oleh DPRD setempat telah membentuk
panitia khusus untuk menanggapi aspirasi masyarakat Tapsel untuk
pembentukan Provinsi Sumatra Tenggara (Prosumteng).
Sementara
Kota Sibolga sebelumnya sudah menarik dukungannya untuk Protap yaitu
sesuai dengan Keputusan DPRD Sibolga No 15/2006 tentang pencabutan
dukungan DPRD Kota Sibolga untuk bergabung dengan Provinsi Tapanuli.
Dengan alasan, Tim Pemrakarsa Provinsi Tapanuli telah melecehkan
pemerintah dan masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan, Mandailing Natal,
Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, dan Kota Padang Sidempuan. Sehingga
masyarakat dan pemerintah, serta DPRD setempat menolak untuk bergabung.
Menurut Guru besar Antropologi Universitas Negeri Medan dan juga
pengajar di Universitas Sumatera Utara (USU) Usman Pelly, pembentukan
protap akan sulit dilakukan akibat dua kelompok besar masyarakat di
daerah itu, telah berpisah budaya dan agama berabad-abad lalu sejak
zaman kolonial Belanda. Pada awal abad 19, penjajah Belanda menjadikan
wilayah Tapanuli sebagai benteng penolak pengaruh Islam di bumi
Sumatera. Namun, upaya yang dilakukan Belanda itu tidak berhasil, karena
upaya Islamisasi Pulau Sumatera juga gencar dilakukan masyarakat. Hal
ini berujung pada terbelahnya struktur kependudukan masyarakat Tapanuli.
Sebagian besar masyarakat di Tapanuli Utara memeluk agama Kristen.
Sebaliknya, di Tapanuli Selatan sebagian besar penduduknya adalah
Muslim.
Di antara mereka yang kontra terhadap Protap
beranggapan, sebaiknya pemekaran tidak dilakukan. Mereka melihat pada
daerah-daerah yang sudah dimekarkan tidak membawa perubahan yang
signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan, namun malah timbul polemik
lain yang dianggap menjadi beban masyarakat. Namun, di satu pihak lagi
mengatakan pemekaran ini, hanya akan menimbulkan masalah baru. Yakni
timbulnya persaingan antar suku. Dimana dalam perkembangannya, wilayah
kabupaten/kota yang telah dimekarkan cenderung bernunsa kesukuan.
Rizal Nurdin (alm) semasa menjabat sebagai gubernur Sumut memandang
wacana yang dikembangkan dalam ide pemekaran itu sangat identik dengan
nama etnik di Sumut. Keadaan ini secara psikokultural bisa menjadikan
wilayah tertutup bagi etnik lain di wilayah Tapanuli. Apalagi dari sisi
agama, wilayah kabupaten dan kota dalam rencana Provinsi Tapanuli
didominasi agama tertentu. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan
resiprokal, saling membalas, kepada daerah-daerah lain di luar wilayah
rencana Provinsi Tapanuli. Makanya ada penolakan bergabung dari
Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal dan Kota Padang
Sidempuan.
Dalam pandangan Rizal, pembagian wilayah seperti itu
akan berimplikasi pada tiga hal, yakni kecenderungan menguatnya
aspirasi politik untuk membentuk kabupaten baru berdasarkan sentimen
kesukubangsaan. Hal mana misalnya terjadi pada pembentukan Kabupaten
Toba (sub-etnis Toba), Kabupaten Humbang-Hasundutan (sub-etnis Humbang),
dan Kabupaten Samosir (sub-etnis Samosir) yang merupakan pemekaran dari
Kabupaten Tapanuli Utara (sub-etnis Silindung), Kabupaten Pakpak Bharat
(sub-etnis Pakpak), pemekaran dari Kabupaten Dairi (didominasi Toba dan
Karo), Kab. Mandailing-Natal (sub-etnis Mandailing), pemekaran dari
Kabupaten Tapanuli Selatan (sub-etnis Sipirok-Angkola), dan seterusnya.
Dengan anggapan ini, ada upaya untuk mengerdilkan atau dikerdilkannya
kelompok tertentu.
Pendapat dari kalangan yang kontra terhadap
pembentukan Protap ini tidak bisa sepenuhnya diterima kalau melihat
dalam kenyataannya, suku-suku Batak yang ada di Sumatra Utara termasuk
suku yang paling terbuka akan masuknya suku-suku lain. Dimana tidak
pernah timbul kericuhan yang mengarah pada konflik SARA. Provinsi yang
terdiri dari berbagai etnis di luar etnis batak seperti Melayu, Jawa,
Tionghoa, India dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Etnis Tionghoa yang pada jaman Orde Baru mendapat pengawasan dari
pemerintah, terutama dalam berbahasa China, di Sumut mereka tetap bebas
melakukannya. Dari segi budaya batak, isu SARA itu bisa ditangkal dengan
adat yang masih kental di daerah ini. Budaya Batak yang kuat dengan
falsafah hidup “Dalihan Natolu” yang pada hakekatnya inti dari falsafah
ini adalah saling menghormati satu sama lain. Tidak melekatnya sistem
kemasyarakatan, seperti adanya golongan ataupun tingkatan-tingkatan
seperti di India dengan kasta, atau seperti pada masa-masa kerajaan Jawa
dengan golongan darah biru dan sebagainya. Falsafah hidup orang batak,
meletakkan suatu dasar yang kuat bagi semua pihak, bahwa semua sama
dengan tetap berpegang sesuai dengan fungsinya dalam falsafah yang
dianut tersebut.
Dua tokoh asal Sumatera Utara (Sumut), TB
Silalahi, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) dan Letjen
(Pur) Luhut Panjaitan, mantan Menperindag menolak adanya isu SARA di
balik pembentukan Protap. TB Silalahi sangat menyesalkan munculnya
isu-isu yang tidak proporsional, yang mengatakan seolah-olah pembentukan
Propinsi Tapanuli diisukan sebagai Provinsi Kristen. Karena sejak
bertahun-bertahun di kawasan Tapanuli itu hubungan antara umat beragama
pun berlangsung dengan sangat baik dan sangat kondusif, tegasnya.
Sedangkan Luhut Panjaitan mengaku mendapat informasi bahwa penolakan
Protap dikaitkan dengan isu SARA. Alasan itu dia nilai mengada-ngada
karena orang Batak merupakan etnis yang paling demokratis. Dia
mencontohkan dengan tidak pernah adanya dalam sejarah, masjid dibakar di
Tapanuli.
Hal senada juga diungkapkan anggota DPR Panda
Nababan yang membantah, pembentukan Protap ini karena ada sentimen etnis
atau agama. Dia juga menolak anggapan karena selama ini kurang diberi
peran di Sumut. “ Buktinya, selama ini kan banyak dari Batak Toba. Ada
Gubernur yang Kristen juga seperti Tambunan. Ini adalah masalah
kesejahteraan. Tapanuli adalah satu-satunya keresidenan di Sumatera yang
belum menjadi provinsi,” kata Panda. BS
0 komentar:
Posting Komentar