29 Oktober 2009

Penyelesaian Sengketa Lahan dan Penebangan Kemenyan oleh PT. TPL

Parapat, 25 Agustus 2009

Nomor : 76/Adv-KSPPM/VIII/2009
Lampiran : -
Hal :

Mohon Penyelesaian Sengketa Lahan dan Penebangan Tombak Haminjon (Hutan Kemenyan) milik Masyarakat Adat Desa Sipitu Huta dan Pandumaan, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL)

Kepada
Yth. Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Bapak Malem Sambat Kaban
di Jakarta

Dengan hormat,
Sejak tahun 2007 hingga saat ini telah terjadi konflik dan sengketa lahan antara masyarakat adat (petani kemenyan) Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, dengan PT Toba Pulp Lestari Tbk (PT TPL).

Konflik ini sangat meresahkan dan merugikan masyarakat karena PT TPL melakukan penebangan hutan alam (termasuk pohon-pohon kemenyan) berdasarkan konsesi/hak pengusahaan hutan (HPH) dan izin Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara (Rencana Kerja Tahunan-RKT), sementara kawasan hutan dimaksud merupakan hutan adat yang telah dikuasai dan diusahai masyarakat adat secara turun-temurun. Penebangan pohon kemenyan ini diprotes masyarakat, namun hingga saat ini tidak mendapat respons positif dari pihak-pihak terkait.

Beberapa bulan terakhir, PT TPL kembali melakukan penebangan hutan alam (termasuk pohon kemenyan) khususnya di kawasan tombak haminjon (hutan kemenyan) milik masyarakat adat Desa Pandumaan dan Sipitu Huta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Masyarakat melakukan protes dan perlawanan karena hal itu menyangkut hak hidup mereka. Dampaknya, perlawanan demi hak hidup ini telah mengarah kepada kriminalisasi di mana 4 warga yakni Binner Lumbangaol (56), James Sinambela (50), Mausin Lumban Batu (60), dan Madialaham Lumbangaol (25) akan menghadapi proses peradilan atas tuduhan “pencurian dan pengrusakan secara bersama-sama” atas aksi yang mereka lakukan untuk menghentikan dan mengamankan mesin penebang kayu (chain-saw) di areal hutan dimaksud. Saat ini, beberapa warga yang lain sedang menhadapi proses pemeriksaan Kepolisian Resor Humbang Hasundutan.

Sesungguhnya, masyarakat adat dua huta (desa) yakni Pandumaan dan Sipitu Huta (saat ini dihuni sekitar 700 kepala keluarga) sudah membuka perkampungan dan areal tombak haminjon itu serta mengelolanya turun-temurun sejak 300-an tahun yang lalu, yakni sejak masa leluhur/nenek moyang mereka sesuai tingkatan generasi yang sudah mendiami desa ini.

Marga-marga awal yang membuka perkampungan sekaligus yang membuka tombak haminjon dan hingga sekarang berdiam di dua desa ini terdiri dari komunitas marga keturunan marga Marbun yakni Lumbanbatu yang hingga sekarang sudah mencapai 13 generasi; Lumbangaol (13 generasi); Borubus (sebagai marga boru) yakni Nainggolan dan Pandiangan (13 generasi); Turunan Siraja Oloan yakni marga Sinambela, Sihite, Simanullang (masing-masing 13 generasi); dan marga-marga yang datang kemudian yakni Munthe dan Situmorang (3 generasi).

Tombak haminjon seluas kurang lebih 4.100 Ha ini berada di 3 areal yang mereka beri nama: Tombak Sipiturura, Dolokginjang, dan Lombang Nabagas. Sebagai tanah adat, batas-batas kepemilikan di antara komunitas 2 desa ini juga ditentukan sesuai kebiasaan atau hukum adat yang berlaku, serta masih hidup dan ditaati hingga sekarang. Demikian juga dalam penentuan batas-batas kepemilikan dengan desa/komunitas desa lainnya.

Tombak haminjon ini merupakan daerah hulu sungai-sungai yang mengalir ke Kecamatan Pakkat, Tarabintang, Parlilitan, Onan Ganjang, Sijamapolang, Doloksanggul, dan Bakti Raja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Selain daerah hulu sungai, kawasan ini juga merupakan daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba, sekaligus merupakan identitas mereka sebagai masyarakat adat.

Berdasarkan hal-hal di atas, kami meminta agar Bapak Menteri Kehutanan dapat memberikan jalan keluar dan penyelesaian yang konkrit atas permasalahan antara masyarakat dua desa ini dengan PT TPL. Salah satu solusi yang dapat kami tawarkan adalah mencabut konsesi/HPH PT TPL yang tumpang tindih (overlap) dengan hutan adat dimaksud. Kami yakin dan percaya, pemberian konsesi yang terjadi masa Orde Baru kepada perusahaan ini, tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat yang mengelola hutan, dan dampaknya terjadi saat ini, yakni:

1. SK Menhut No. 493/Kpts-II/1992 tanggal 1 Juni 1992, mendapat perubahan dengan SK Menhut No. SK.351/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menhut No. 493/Kpts-II/1992 tentang Pemberian HPHTI kepada PT Inti Indorayon Utama. SK Menhut ini hanya merubah nama, dari PT Inti Indorayon Utama menjadi PT Toba Pulp Lestari Tbk, sedangkan luasannya tetap 269.069 Ha.

2. SK Menteri Kehutanan Nomor 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara seluas + 3.742.120 Ha, khususnya menyangkut lahan kemenyan milik warga 2 desa (Pandumaan dan Sipituhuta).

3. Surat Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 522.21/2075.A/DPK-X/2008, tertanggal 28 Oktober 2008, perihal Pertimbangan Teknis Kepala Dinas Kehutanan dan Pertambangan.

4. Surat Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara Nomor 552.21/0684/IV, tertanggal 29 Januari 2009, perihal Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT Toba Pulp Lestari Tahun 2009.

5. Surat-surat lainnya yang berkaitan dengan sengketa ini.

Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Bapak, perlu kami sampaikan bahwa masyarakat Kabupaten Humbang Hasundutan umumnya hidup dari sektor pertanian/perkebunan. Dalam hal ini, lebih dari 60 persen warga Humbang Hasundutan bekerja di sektor perkebunan kemenyan dengan nilai transaksi diperkirakan mencapai Rp 2,1 Miliar/minggu. Sehingga dari sektor pertanian/perkebunan, haminjon merupakan komoditi unggulan daerah bagi Kabupaten Humbang Hasundutan, dengan jumlah produksi + 60 ton/bulan. Data yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Humbang Hasundutan menyatakan produksi tanaman kemenyan pada tahun 2004 sebesar 1.129,30 ton dan 4.559,28 ton pada tahun 2005.

Yang lebih penting adalah bahwa tanaman kemenyan termasuk tanaman endemik yakni hanya dapat tumbuh dengan baik di tempat tertentu di bumi, salah satunya di daerah Kabupaten Humbang Hasundutan, khususnya di Kecamatan Pollung. Sehingga tanaman kemenyan ini sepatutnya harus dilindungi dari kepunahan.

Di samping itu, di tengah permasalahan pemanasan dunia (global warming), tentu menjadi tanggung jawab bersama mengatasi tindakan-tindakan pengrusakan lingkungan, khususnya penebangan hutan alam. Hal ini juga berkaitan erat dengan program pemerintah, khususnya Departemen Kehutanan, dengan program-program perlindungan hutan alam dan penghijauan (reboisasi). Bagaimana program ini bisa berhasil kalau ijin penebangan masih dengan mudah diberikan kepada perusahaan-perusahaan seperti PT TPL?

Demikianlah permohonan ini kami sampaikan untuk menjadi perhatian dan pertimbangan Bapak.

Atas perhatian dan kerjasama yang baik dihaturkan terimakasih.

Salam dan hormat kami,

Dimpos Manalu, S.Sos., M.Si
Direktur Program

Tembusan, Yth:
1. Menteri Peridustrian RI
2. Menteri Lingkungan Hidup RI
3. Kepala Kepolisian Republik Indonesia
4. Gubernur Sumatera Utara
5. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara
6. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
7. Ketua DPRD Humbang Hasundutan dan Komisi A DPRD Humbang Hasundutan
8. Bupati Humbang Hasundutan
9. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Humbang Hasundutan
10. Camat Kecamatan Pollung
11. Warga Desa Sipitu Huta dan Pandumaan
12. NGO/Ornop di Indonesia
13. Media massa cetak dan elektronik
14. Arsip

1 komentar:

Tris 7matupunk mengatakan...

nga boha masalah on lae.. adong do perkembangan???